SERANG, penasultan.co.id – Polemik dugaan mark-up sewa gedung gerai Samsat di Banten kian memanas. Setelah mencuat di sejumlah UPT seperti Cikande, Panimbang, dan Saketi, kini klarifikasi datang dari internal Bapenda Provinsi Banten. Namun, penjelasan tersebut dinilai belum menjawab substansi persoalan, justru menegaskan adanya keterbatasan data dan pelimpahan tanggung jawab ke masing-masing UPT.
Kepala Sub Bagian Bapenda Banten Ade, saat ditemui di ruang kerjanya pada Jumat (19/12/2025), membenarkan bahwa isu ini telah berkembang sejak dua bulan lalu dan sudah dilaporkan ke pimpinan.
“Isu ini berkembang dari bulan kemarin, itu pun sudah kami laporkan ke pimpinan. Tapi sampai sekarang memang belum ada jawaban dari pimpinan,” ujarnya.
Ia menambahkan, persoalan sewa gedung gerai Samsat berada di ranah masing-masing UPT, sehingga Bapenda mengaku hanya berperan sebatas mendukung data.
“Kalau mau ditanggapi lewat PPID bisa saja, tapi kami support datanya. Jujur saja, kami juga keterbatasan data,” katanya.
Terkait mekanisme sewa gedung, ia menjelaskan bahwa kontrak sewa bisa berlangsung dua hingga tiga tahun, bergantung pada akta notaris yang menjadi dasar kesepakatan antara pemilik gedung dan pihak pengelola.
“Kalau bicara sewa ya sewa. Ada akta notaris, itu kesepakatan antara pemilik gedung dengan KPH, dan KPH itu ada di gerai,” terangnya.
Namun, ketika ditanya soal selisih mencolok antara harga sewa di lapangan—yang disebut berkisar Rp65 juta—dengan pagu anggaran Rp153 juta, pejabat Bapenda itu kembali menegaskan bahwa kelebihan anggaran akan dimasukkan ke SILPA.
“Kalau ada kelebihan, itu disilpakan. Contohnya, di RUP seratus juta, ternyata yang dipakai lima puluh juta, ya lima puluh jutanya disilpakan,” jelasnya.
Ia juga menyarankan agar media mengonfirmasi langsung ke UPT masing-masing untuk mendapatkan penjelasan teknis yang lebih rinci.
Pernyataan ini menuai sorotan karena sebelumnya, sejumlah pihak—termasuk aktivis dan LSM—menilai bahwa alasan SILPA dan SSH kerap dijadikan tameng, sementara bukti pengembalian ke kas daerah tidak pernah ditunjukkan secara terbuka. Publik pun mempertanyakan, sejauh mana mekanisme kontrol berjalan jika Bapenda mengaku keterbatasan data, sementara anggaran bersumber dari keuangan daerah.
Hingga berita ini ditayangkan, pimpinan Bapenda Provinsi Banten belum memberikan pernyataan resmi. Sementara itu, tekanan publik terus meningkat agar dilakukan audit menyeluruh atas sewa gedung gerai Samsat di Banten, demi memastikan tidak ada penyimpangan dan setiap rupiah uang rakyat dikelola secara transparan dan akuntabel.
(Tim)







