Cilacap, penasultan.co.id — Dunia jurnalistik kembali tercoreng akibat ulah seorang pejabat publik. Suparno, Kepala Desa Nusajati, Kecamatan Sampang, Kabupaten Cilacap, diduga secara terang-terangan menghina profesi wartawan dengan menyebutnya “bajingan” melalui pesan aplikasi WhatsApp.
Ironisnya, selain melontarkan kata-kata kasar, Suparno juga mengancam akan melaporkan wartawan ke pihak kepolisian serta menulis balik pemberitaan tersebut di media. Aksi arogan itu menuai kecaman keras dari berbagai kalangan, karena dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap kebebasan pers yang dijamin undang-undang.
Diduga Kesal Diberitakan Soal Tanah Bengkok Fiktif
Berdasarkan informasi yang dihimpun, kemarahan Suparno disinyalir dipicu oleh pemberitaan terkait dugaan penjualan tanah bengkok (tamsil) secara fiktif yang merugikan warga.
Salah satu korban mengaku mengalami kerugian hingga Rp93 juta dalam transaksi yang melibatkan Kades Suparno. Meski Suparno berdalih bahwa transaksi dilakukan oleh seseorang bernama Taufik, warga menilai sang kades mengetahui dan membiarkan praktik tersebut berlangsung.
“Uangnya saya serahkan ke orang suruhan Pak Kades, tapi beliau tahu semuanya,” ungkap korban saat ditemui di kediamannya.
Sorotan Tajam dari Publik
Ucapan kasar Suparno dianggap mencerminkan karakter arogan dan anti kritik. Publik menilai sikap tersebut tak pantas ditunjukkan oleh seorang pemimpin desa yang seharusnya menjadi teladan bagi masyarakatnya.
Apalagi, Suparno dikenal sebagai satu-satunya kepala desa di Kecamatan Sampang yang sempat didemo warga karena dugaan korupsi dengan kerugian negara mencapai lebih dari seratus juta rupiah.
Tak berhenti di situ, desas-desus dugaan perselingkuhan Suparno dengan istri tetangga pun turut mencoreng citra kepemimpinannya. Kasus moral tersebut disebut-sebut berujung pada retaknya rumah tangga keluarga korban, sehingga memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap sang kades.
Hilangnya Nilai Budaya dan Kepekaan Sosial
Selain persoalan hukum dan etika, warga juga mengkritik kebijakan Suparno yang dinilai menjauh dari nilai-nilai budaya lokal.
Sejumlah warga menyebut, sejak ia menjabat lima tahun lalu, baru sekali menggelar pagelaran wayang — tradisi tahunan yang dahulu menjadi simbol syukur sekaligus pelestarian budaya Jawa.
“Sekarang beliau sudah seperti orang asing di desanya sendiri. Sombong, menjaga jarak, dan tidak lagi dekat dengan warga,” ujar salah satu tokoh masyarakat yang enggan disebutkan namanya.
Publik Ingatkan: Kades Bukan Penguasa
Warga menegaskan, jabatan kepala desa bukanlah kekuasaan absolut. Dalam sistem demokrasi, kedaulatan tetap berada di tangan rakyat. Karena itu, pejabat publik diharapkan menjalin kemitraan dengan semua elemen masyarakat, termasuk insan pers, bukan justru memusuhi atau merendahkan mereka.
“Bermitralah dengan rakyat dan media, jangan merasa paling hebat. Jabatan itu amanah, bukan kekuasaan pribadi,” ucap salah satu warga dengan nada tegas.
Pers Dilindungi Undang-Undang
Tindakan penghinaan terhadap wartawan jelas melanggar etika publik dan berpotensi menabrak ketentuan hukum. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara tegas menyebut bahwa wartawan dilindungi dalam menjalankan tugas jurnalistiknya sebagai bagian dari pilar keempat demokrasi.
Publik kini menunggu langkah aparat dan lembaga terkait untuk menindaklanjuti dugaan penghinaan terhadap profesi wartawan yang dilakukan oleh Kades Nusajati.
Pertanyaannya, apakah Suparno benar-benar memahami arti kebebasan pers dan tanggung jawab moral seorang pejabat publik?
Atau justru, seperti yang dikhawatirkan warga, ia tengah menunjukkan wajah asli kekuasaan yang anti kritik dan tak mau disentuh hukum?
Sumber: Mbah Wasis







