Serang – Buruknya pelayanan di Puskesmas Taktakan, Kecamatan Taktakan, Kota Serang, kembali mencoreng dunia kesehatan. Seorang ibu hamil nyaris melahirkan di dalam angkot setelah ditolak oleh Puskesmas yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pelayanan kesehatan masyarakat.
Peristiwa ini terjadi pada 26 Februari 2025, sekitar pukul 23.00 WIB. ibu hamil berinisial LF asal Kampung Buah Laler, Kelurahan Taktakan, bersama suaminya, mendatangi Puskesmas Taktakan karena sudah menunjukkan tanda-tanda persalinan. Namun, alih-alih mendapatkan pertolongan, mereka justru mendapati puskesmas dalam keadaan tutup.
Dalam kondisi panik, pasangan suami istri itu kemudian berusaha mencari pertolongan lain dan mendatangi rumah seorang bidan kelurahan. Namun, mereka kembali mendapatkan penolakan dengan alasan bidan tersebut tidak bisa menangani karena suaminya sedang sakit. Bukannya memberikan pertolongan darurat, bidan itu malah mengarahkan mereka ke puskesmas lain.
“Dalam situasi darurat seperti ini, kami justru diabaikan. Seharusnya ada tindakan pertama dulu, baru jika tidak mampu, dirujuk ke tempat lain. Coba bayangkan bagaimana kalau istri saya melahirkan di angkot?” keluh sang suami dengan nada kesal.
Saat dikonfirmasi, pihak Puskesmas Taktakan dan bidan yang menolak pasien enggan memberikan penjelasan secara terbuka. Mereka malah mempertanyakan prosedur konfirmasi jurnalis dan menolak menyebutkan identitas mereka.
“Saya tahu cara konfirmasi wawancara. Kalau narasumber tidak mau bicara, ya sudah, jangan direkam,” ujar salah satu tenaga medis yang enggan disebutkan namanya.
Lebih lanjut, ia berdalih bahwa Puskesmas Taktakan bukanlah puskesmas rawat inap, sehingga kebijakan pelayanan persalinan yang diterapkan adalah sistem on-call, bukan standby 24 jam di lokasi.
Namun, ketika ditanya mengapa saat dihubungi layanan on-call 24Jam itu justru tidak bisa diakses, ia hanya menjawab santai, “Yang penting sekarang pasiennya selamat. Namanya juga manusia, Pak.” Kata dia.
Pernyataan tersebut tentu saja sangat mengecewakan. Sebab, penolakan terhadap pasien dalam kondisi gawat darurat merupakan pelanggaran hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Fasilitas kesehatan yang menolak pasien gawat darurat bisa dikenai sanksi pidana, perdata, maupun administrasi. Sangsi pidana penjara 2 tahun dan denda 200 Juta.
Kasus ini kembali menjadi bukti bahwa pelayanan kesehatan di Kota Serang masih jauh dari kata ideal. Nyawa pasien yang seharusnya menjadi prioritas justru terabaikan akibat sistem yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sampai kapan hal ini terus terjadi?
(Tim)