Serang, penasultan.co.id – Program BPJS Kesehatan untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI), yang sejatinya diperuntukkan bagi warga miskin, kini diduga berubah arah menjadi ladang uang bagi sejumlah oknum di Desa Bendung, Kecamatan Tanara, Kabupaten Serang.
Dugaan pungutan liar (pungli) mencuat setelah muncul informasi bahwa pembuatan BPJS PBI bisa dipercepat dengan “tarif khusus” sebesar Rp100 ribu per kartu. Ironisnya, penerima bantuan justru berasal dari keluarga berkecukupan, sementara warga miskin yang terdaftar resmi dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) hanya bisa menunggu dalam ketidakpastian.
Sebut saja Al, salah satu warga kurang mampu, mengaku telah lama mengajukan BPJS PBI namun tak kunjung diproses. Ia heran melihat keluarga Nurkam – yang diketahui memiliki usaha fiber lelang di Jakarta dan berpenghasilan besar – justru mendapat kartu BPJS PBI hanya dalam tiga hari. “Kata orang, asal kasih Rp100 ribu ke Pak RT, langsung beres,” ujar Al, Jumat (11/4/2025).
Lebih mencengangkan lagi, istri dan anak Nurkam diketahui kini menikmati fasilitas kesehatan gratis dari negara, padahal status ekonominya jauh dari kategori miskin.
Bola Panas Lempar-Melempar Tanggung Jawab
Saat dikonfirmasi, Dinas Sosial Provinsi Banten melalui stafnya, Sopian, menolak tanggung jawab atas munculnya nama-nama “siluman” dalam daftar penerima PBI. Ia menegaskan, Dinsos Provinsi hanya menerima data, bukan sebagai pengusul atau pengaktif kartu. “Kalau ada yang aktif tapi tidak masuk DTKS, itu jelas bermasalah,” katanya.

Hal serupa disampaikan Dinas Kesehatan Provinsi. Hanip, staf pembiayaan, mengatakan pihaknya hanya menyediakan kuota penerima. “Kami tidak menentukan siapa yang berhak, itu wewenang Dinsos Kabupaten/Kota,” ujarnya.
SLRT: BPJS Tidak Bisa Aktif dalam Hitungan Hari
Anggi, staf SLRT Dinsos Kabupaten Serang, menambahkan bahwa proses aktivasi BPJS PBI secara resmi membutuhkan waktu antara tiga hingga enam bulan. Jika ada kartu yang bisa aktif hanya dalam tiga hari, ia menegaskan, itu jelas hasil “jalur belakang”.
Saat ini, kata Anggi, BPJS tak lagi mencetak kartu fisik. Data cukup diverifikasi lewat NIK. Namun celah pungli masih terbuka karena banyak warga belum memahami sistem tersebut.
RT dan ‘Pegawai Dinsos’ Diduga Bermain Mata
Dalam pengakuannya, RT Juki mengaku memang menerima uang, meski hanya Rp10 ribu per kartu. Ia menyebut ada sosok bernama Am, yang mengaku sebagai pegawai Dinsos, yang mengurus sisanya. Dari 28 warga yang “dibantu”, total uang yang terkumpul mencapai Rp2,8 juta.
Saat dikonfirmasi, Am berdalih uang itu hanya sekadar biaya operasional. “Kalau cetak kartu bolak-balik, ya perlu uang. Jangan ributin yang receh,” ujarnya santai.
Saat Program Sosial Jadi Komoditas
Skema BPJS PBI sejatinya adalah bentuk nyata dari keadilan sosial. Namun fakta-fakta di lapangan menunjukkan adanya praktik manipulasi dan jual beli fasilitas bantuan dengan melibatkan aparat desa dan individu yang mengaku dari instansi resmi.
Jika tak segera ditangani, skandal ini berpotensi melebar dan menciderai kepercayaan publik. Negara harus hadir dan bertindak tegas, agar program yang diciptakan untuk melindungi kaum rentan tidak berubah menjadi alat bisnis oleh tangan-tangan serakah.
(Tis/mat)