Serang, 20 Mei 2025 — Serikat Pengemudi Angkutan Roda Dua (SERDADU) bersama sejumlah organisasi pengemudi ojek online (ojol) lainnya seperti Aliansi Dobbrak dan OSB (Ojol Serang Bersatu) menggelar aksi di Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B), Kota Serang, pada Selasa (20/5). Aksi ini merupakan bentuk protes terhadap kebijakan sepihak perusahaan aplikasi yang dinilai merugikan pengemudi ojol serta mendesak negara hadir memberikan perlindungan hukum dan kesejahteraan bagi pengemudi dan keluarganya.
Para pengemudi menuntut agar pemerintah menekan perusahaan aplikator agar menghentikan berbagai sistem dan program yang dianggap tidak manusiawi, seperti “argo goceng” (aceng), sistem slot, dan order gabungan. Mereka menilai, program tersebut menekan pendapatan pengemudi dengan tarif yang sangat murah dan jam kerja yang panjang tanpa jaminan keselamatan maupun penghasilan layak.
“Situasi para pengemudi ojol saat ini semakin memburuk. Kami bekerja lebih dari delapan jam sehari tanpa kepastian penghasilan dan selalu berada di bawah ancaman sanksi sepihak dari perusahaan aplikasi,” kata Ahmad, salah satu pengemudi ojol asal Kota Serang.
Melalui siaran pers, SERDADU menyoroti minimnya peran negara dalam melindungi para pengemudi ojol. Meskipun Kementerian Perhubungan telah mengatur layanan transportasi daring, aturan yang ada belum menjamin hak-hak dasar pekerja seperti jaminan kesehatan, kecelakaan, dan pendapatan minimum.
“Para pengemudi sudah berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional, tapi ironisnya mereka hanya dijadikan sapi perah oleh perusahaan aplikasi yang meraup keuntungan besar,” ungkap Ketua SERDADU, Dodi Munir.
Menurutnya, sejumlah perusahaan seperti GOTO (Gojek-Tokopedia) dan Grab telah mencetak keuntungan besar dalam waktu singkat, sementara kondisi kerja pengemudinya justru kian memburuk. Pencitraan pekerjaan ojol sebagai profesi fleksibel dianggap menyesatkan karena kenyataannya para pengemudi dipaksa terus bekerja tanpa jaminan pendapatan maupun perlindungan.
Baron, Sekretaris SERDADU, menegaskan bahwa istilah “mitra” hanyalah upaya perusahaan untuk menghindari kewajiban terhadap pekerja. Ia juga menyoroti tidak adanya ruang berunding dan perlindungan hukum terhadap sanksi sepihak seperti pemutusan kemitraan dan suspend akun.
“Program-program aplikator seperti Aceng dari Gojek, Slot dari Grab, ShopeeHub dari ShopeeFood, dan order gabungan adalah bukti konkret lemahnya pengawasan negara. Kami menjadi korban dari persaingan tarif antar aplikator,” ujar Baron.
Selain masalah penghasilan, keselamatan kerja juga menjadi perhatian. Ida Farida, pengemudi ojol perempuan yang juga pengurus SERDADU, menyebut bahwa pengemudi dihadapkan pada risiko tinggi kecelakaan kerja yang tidak ditanggung perusahaan secara adil. Klaim asuransi sering kali dipersulit dengan berbagai syarat tidak masuk akal.
“Ini bukan soal kelalaian di jalan, tapi soal tanggung jawab perusahaan dan negara dalam menjamin keselamatan para pekerja transportasi,” tegasnya.

Tuntutan SERDADU
Dalam aksi tersebut, SERDADU menyampaikan sejumlah tuntutan, baik kepada pemerintah pusat maupun daerah, sebagai berikut:
A. Tuntutan kepada Pemerintah Pusat:
- Menetapkan tarif dasar nasional yang layak untuk layanan penumpang dan menolak penurunan tarif sepihak oleh perusahaan aplikasi.
- Membuat regulasi khusus untuk layanan pengantaran barang dan makanan.
- Membentuk Undang-Undang yang mengatur layanan transportasi daring.
B. Tuntutan kepada Pemerintah Daerah:
- Memberikan akses jaminan sosial seperti BPJS Kesehatan (PBI) dan BPJS Ketenagakerjaan (JKK, JKM, JHT) bagi pengemudi ojol dengan pembiayaan dari pemerintah.
- Memberikan relaksasi pajak kendaraan bermotor bagi pengemudi ojol.
- Memastikan pengemudi ojol terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) agar dapat menerima bantuan pemerintah.
Dengan aksi ini, para pengemudi ojol berharap pemerintah segera mengambil langkah konkret untuk melindungi dan menyejahterakan mereka, sebagai bagian penting dari sistem transportasi publik di Indonesia.
(Amin/Red)